25 September 2008

Mengapa Mereka Benci RUU Pornografi


Berita MetroTV petang, 18 September 2008, mengangkat diskusi ringan soal rencana pengesahan RUU Pornografi. Disana tampil anggota dewan yang anti RUU Pornografi dari Fraksi PDIP dan yang mendukung RUU dari Fraksi PAN. Untuk kesekian kalinya kita membuka halaman debat kusir soal RUU Pornografi (dulu RUU Anti Pornografi Pornoaksi). Tahun 2006 lalu Ummat Islam menggelar “Aksi Sejuta Ummat” di Monas menuntut RUU APP segera disahkan, tetapi realisasinya alot amat. Sebagian kalangan sudah gemas melihat perkembangan media-media pornografi, sementra yang lainnya oke-oke aja.

Untuk melihat perdebatan baru ini, kita perlu lebih jujur memahami konstruksi sikap orang-orang yang anti RUU Pornografi. Istilahnya, “Jangan ada dusta di antara kita.” Hal itu dimaksudkan agar kita tidak keletihan menghadapi alasan-alasan mereka yang terus diperbaharui itu. Ketika satu alasan dibantah, segera muncul alasan berikutnya, termasuk yang paling naif sekalipun.

Begitu terus berlangsung, setiap ada jawaban selalu ada alasan baru. (Kata anak-anak, capek deh!). Dengan memahami desain sikap mereka, akan membantu kita lebih konsisten dengan masalah ini. Semoga Allah Ta’ala memudahkan perjuangan Ummat. Amin.

Disini saya akan ungkap alasan-alasan kalangan anti RUU Pornografi. Sebagai tambahan, pihak-pihak yang menentang RUU itu tidak jauh dari komunitas PDIP, PDS, gerakan SEPILIS, seniman liberal, LSM anti Syariat Islam, Mbah Dur, komunitas gereja, media massa sekuler, dan semisalnya.

Cukup UU dan KUHP
Alasan paling standar dari kalangan anti RUU Pornografi adalah soal UU dan KUHP. Kata mereka, selama ini sudah ada UU Perlindungan Anak, ada KUHP, dll. Sudah banyak produk UU yang bisa digunakan untuk menjerat media-media pornografi dan model-model yang menjadi pelaku porno aksi. “Sudah pake aja UU yang ada. Tak usah bikin UU baru. Yang sudah aja manfaatkan sebaik mungkin, itu sudah cukup!” kata mereka.

Cara mematahkan alasan di atas sangat mudah, yaitu: “Kalau memang semua UU itu efektif bisa mencegah penyebaran media pornografi, mengapa sampai saat ini masih banyak produk-produk pornografi beredar luas? Itu artinya UU-nya mandul, sebab tidak mengatur masalah ini secara spesifik.”

Mereka akan balik membantah, “Ya, itu artinya penegakan hukumnya yang lemah, bukan UU-nya yang salah! Jangan salahkan UU-nya, tapi salahnya penegakan hukumnya yang lemah.”

Kita pun bisa menjawab balik, yaitu:
“Pertama, Anda katakan penegakan hukum lemah. Berarti disini ada pihak-pihak yang tidak menunaikan amanah hukum dengan baik. Pihak itu bisa kepolisian, kejaksaan, atau kehakiman. Mereka bisa disebut telah melanggar hukum karena tidak melaksanakan amanah penegakan hukum dengan baik. Kalau begitu apakah Anda telah menuduh kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman telah melanggar hukum karena tidak melaksanakan UU/KUHP dengan benar? Tolong Anda sebutkan bukti-bukti pelanggaran hukum mereka, karena tidak menegakkan hukum secara baik! Kalau ada bukti-buktinya, hal itu bisa menjadi modal melakukan class action untuk menuntut tanggung-jawab mereka.”

“Kedua, UU atau KUHP yang ada saat ini hanya memberikan aturan yang sifatnya general (umum), sehingga tidak efektif lagi untuk menghadapi realitas perkembangan media pornografi, teknologi yang dipakai di dalamnya, modus penyebaran, pelaku, motiv bisnis dan sebagainya. Realitasnya sudah sangat komplek, tetapi ketentuan-ketentuan hukum yang digunakan sudah ketinggalan jaman. Bayangkan, untuk fenomena pornografi yang telah sedemikian rumit hanya cukup dihadapi dengan beberapa gelintir pasal saja. Itu menunjukkan bahwa bangsa kita tidak memiliki komitmen moral. Soal moral hanya omong kosong doang!”

Kalau mereka terus beralasan dengan lemahnya penegakan hukum, mereka harus tunjukkan bukti-bukti kongkretnya kelemahan itu, jangan hanya teori saja. Tunjukkan bagaimana kasusnya, apa buktinya, siapa pelaku “kelemahan penegakan hukum” itu! Sekali lagi, jangan omdo atau omkos!

Masyarakat Bali dan Papua

Ini alasan lain, soal Bali. “Bagaimana dengan di Bali? Bukankah disana banyak turis-turis manca negara yang berpakaian minim? Kalau mereka dituduh pornoaksi, berarti pariwisata di Bali bisa hancur, dong? Wong selama ini mereka dapat makan dari pakaian-pakaian minim itu,” kata mereka.

Sebenarnya, hal ini sudah dijawab oleh para anggota dewan yang ikut merumuskan RUU Pornografi. Katanya, dalam implementasi UU Pornografi di lapangan akan disesuaikan dengan kebijakan spesifik setiap daerah. UU Pornografi dianggap sebagai rujukan umum, lalu implementasinya disesuaikan kondisi masyarakat setempat. Tradisi moralitas masyarakat setempat menjadi pertimbangan dalam implementasi UU tersebut di lapangan. Artinya, nanti diperlukan Perda (Peraturan Daerah) yang akan merinci penerapan UU Pornografi di lapangan.

Kemudian, mereka berasalan dengan masyarakat Papua yang masih memakai koteka. “Wah, gimana kalau pelaku porno aksi ditangkap? Nanti laki-laki Papua akan ditangkapi karena mereka memakai koteka? Ini sama saja dengan merusak Bhineka Tunggal Ika, merongrong keutuhan bangsa, merusak kekayaan budaya bangsa.”

Sama saja, seperti kondisi Bali di atas. Hal ini menyangkut situasi spesifik yang umum berlaku di suatu tempat. Di Bali banyak bule berpakaian minim dengan alasan pariwisata. Sementara di Papua, alasannya sikap berbudaya masyarakat masih cenderung primitif. Termasuk di daerah pedalaman suku tertentu, adat berpakaiannya juga bersifat minimalis. Kenyataan-kenyataan seperti ini dikembalikan kepada kebijakan Pemda setempat untuk menetapkan Perda yang lebih relevan dengan daerah masing-masing. “Gitu aja kok repot,” kata Si Mbah Dur.

UU Pornografi ini sangat penting sebagai benteng moral bagi mayoritas masyarakat perkotaan yang umumnya Muslim. Merekalah yang selama ini menjadi sasaran rawan penyebaran pornografi. Jumlah mereka mayoritas, sehingga jangan karena kepentingan minoritas (di Bali atau Papua), lalu kita korbankan moralitas masyarakat mayoritas itu. Jika seperti itu, lalu dimana keadilan? Dimana proporsionalitas? Dimana demokrasi yang mereka agung-agungkan? Bukankah disana ada PDIP? Apa arti huruf “D” pada nama PDIP?

Mengekang Kebebasan Seniman

Selanjutnya, alasan kebebasan ekspresi. “RUU Pornografi jelas memasung kebebasan para seniman. Mereka tidak bisa berekspresi secara bebas, padahal seni itu kebebasan. Seni akan kehilangan ruh-nya kalau dikekang dengan aturan-aturan moral. Seni dan moral adalah dua hal berbeda, jangan dicampur-adukkan. RUU macam itu pasti akan menghambat kreasi dan ekspresi para seniman!” kata mereka.

Mungkin, orang-orang itu termasuk komunitas yang mengagamakan seni. Seni dianggap sebagai agama, yaitu standar nilai yang paling tinggi. Sedangkan kita adalah Ummat beragama, kita tidak memandang seni di atas segala-galanya. Kita Muslim (atau ummat beragama tertentu), sementara mereka menyembah seni. Dan alhamdulillah, sejak awal negara ini bukan negara ateis tetapi negara beragama. Lihatlah sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa!”

Para seniman yang mengagung-agungkan seni itu, mereka boleh memuaskan kehendaknya jika dasar negara kita berbunyi, “Kesenian yang maha kuasa!” Nah, kalau dasarnya seperti itu, silakan mereka berpuas-puas diri dengan kebebasan seni tanpa kendali. Dan ironinya, orang-orang sengak ini sering menuduh aktivis Islam sebagai “anti Pancasila”. Siapa yang ngomong, siapa yang bohong?

Sebenarnya, kalau orang-orang beragama seni ini ingin kebebasan mutlak dalam berkesenian. Hal itu silakan saja, asal untuk diri mereka sendiri, secara tertutup, tidak disebarkan di tengah masyarakat. Misalnya, Ayu Utami, Rieke Dyah, Dian Sastro, dll. mau memuaskan ekspresi seninya, silakan di komunitas sendiri, tidak perlu disebar ke masyarakat luas. Kalau masuk domain masyarakat luas, jelas kami akan sangat keberatan. Kami masyarakat beragama, bukan para penyembah seni. Seni hanyalah sub kehidupan, bukan inti kehidupan.

Lagi pula, disini tampak ketidak-jujuran para seniman sengak ini. Misalnya, mereka ingin diberi kebebasan menggambar tubuh wanita telanjang, tanpa sehelai benang. Kalau ditanya, mengapa harus obyek seperti itu? Jawabnya, “Ini adalah ekspresi kebebasan seni. Seni itu bebas, suka-suka kita mau menggambar apa saja. Moral tidak boleh bicara disini.” Seolah, demi seni mereka bebas berekspresi, tak perlu dikekang oleh aturan apapun. Tetapi, alasan itu sebenarnya dicari-cari saja. Intinya, otak mereka ngeres, suka panorama-panorama seksual, lalu diungkapkan dengan teori macam-macam. Intinya sex fantasy, tetapi teorinya rumit-rumit.

Coba kita tanya, “Kalau memang kebebasan, mengapa tidak menggambar hewan telanjang? Bisa jadi disana juga ada keindahan?” Mereka akan menjawab, “Oh tidak bisa, ini selera manusia, obyeknya juga manusia.” Lalu kita tanyakan lagi, “Kalau alasannya manusia, mengapa harus selalu kaum wanita yang menjadi onyek?” Mereka akan menjawab, “Tidak, pada diri kaum wanita ada potensi kekuatan seni yang hebat. Kaum laki-laki tidak memilikinya.” Dan terakhir kita kunci akal mereka, “Kalau memang harus wanita, mengapa tidak menggambar nenek-nenek tua, anak-anak perempuan balita atau bayi-bayi kecil?” Bahkan seandainya mereka setuju dengan menggambar nenek-nenek, balita, atau bayi perempuan, kita masih punya satu pertanyaan lagi, “Mengapa obyek yang dipakai selalu orang lain? Mengapa Anda tidak pernah memakai keluarga Anda sendiri sebagai obyek?”

Pertanyaan di atas bukan maksudnya menyuruh mereka menggambar obyek-obyek itu. Tidak sama sekali. Ia hanya sekedar test kejujuran untuk mengejar motivasi asli para seniman itu. Ternyata disana ada sex fantasy, tidak lebih. Soal teori kebebasan, keindahan, ekspresi, dll. itu cumeng (cuma tameng!). Kalau ada perempuan-perempuan ikut ngeyel mendukung kebebasan seni itu, biasanya mereka termasuk perempuan yang “sudah tinggal ampas” saja.

Alasan Anggota Dewan PDIP

Menarik mencermati alasan dua orang anggota dewan PDIP. Satu orang disampaikan dalam acara “Debat TVOne”, satu lagi dalam dialog ringan di MetroTV petang yang telah disebut di bagian awal.

Alasan pertama, jika UU Pornografi diberlakukan tidak otomatis akan mengerem penyimpangan moral pelaku-pelaku pornografi. Menurut sebuah data, di Swedia yang tidak ada larangan pornografi terbukti angka kasus pemerkosaan kecil. Sementara di Timur Tengah yang memberi restriksi ketat antara hubungan laki-laki perempuan, disana justru marak pemerkosaan. Musdah Mulia (muftinya kaum homoseks) mendukung data itu sambil mengatakan, restriksi tidak otomatis menekan angka pelanggaran seksual. Kurang lebih seperti itu.

Jawaban yang bisa diberikan: “Kalau ada UU Pornografi saja tidak mampu mengerem, apalagi kalau tidak ada? Lagi pula, kan UU itu belum disahkan, belum diundangkan, mengapa sudah mengadili sedemikian rupa? Mengapa tidak diberi kesempatan dulu dilaksanakan, misalnya selama 15 tahun? Jika hasilnya sukses, UU itu dipertahankan; jika tidak sukses, ia diperbaiki. Mudah kan? Gitu aja kok repot!” Lagi-lagi harus meminjam istilah Si Mbah.

Soal data perbedaan realitas sosial di Swedia dan Timur Tengah. Ya, data tersebut harus dikemukakan secara jelas, jangan hanya mengatakan, “Kami memiliki data anu!” Ungkapkanlah, biar kita sama-sama bisa melihat. Kalau perlu posting di internet, biar bisa dilihat secara keroyokan.

Begini Bu Dewan, kalau mengungkap data jangan setengah-setengah, tetapi harus menyeluruh. Misalnya, perbedaan angka pemerkosaan di Swedia dan Arab Saudi. Dua negara ini secara garis besar sudah berbeda. Arab Saudi itu luas, mungkin bisa mencapai 10 kali luas Swedia. Penduduknya juga jauh lebih banyak, sekitar 25 juta jiwa. Jelas, dari dua data berbeda, akan menghasilkan angka berbeda pula.

Bisa jadi di Swedia tidak ada pemerkosaan. Tetapi jangan gegabah memahaminya! Disana pemerkosaan tidak terjadi, sebab memang kebebasan seks diperbolehkan, bahkan pelacuran, juga mungkin homoseks. Membandingkan dengan Arab Saudi, jauh sekali. Jangankan pelacuran, perzinahan, apalagi homoseks, hijab untuk memisahkan komunitas wanita dan laki-laki diterapkan disana. Jadi tidak adil membandingkan negara liberal yang menghalalkan kebebasan seks, dengan yang menerapkan Syariat Islam. Swedia mungkin tidak butuh pemerkosaan, sebab hukum negara sudah membolehkan seks apa saja.

Kalau di Saudi, biasanya pelaku pemerkosaan itu terjadi karena tiga sebab: Satu, pihak pelaku telah sangat terpengaruh oleh budaya Barat, saat mereka berlibur ke negara Barat, membaca majalah, mengakses internet, atau melihat TV-TV di Barat melalui parabola. Dua, adanya wanita-wanita asing di tengah keluarga-keluarga Saudi, yaitu dari kalangan TKW. Namanya manusia, suatu saat bisa khilaf ketika misalnya melihat ada “rok tersingkap”. Oleh karena itu, biar tidak merusak negara lain, sebaiknya program TKW distop saja. PDIP bisa diminta bantuan untuk menghentikan program itu. Tiga, karena agresitifitas korban wanitanya. Banyak orang mengatakan, bahwa korban-korban itu kerap berpenampilan menggoda di depan majikan atau anak-anaknya.

Kemudian alasan satu lagi dari wakil PDIP, yaitu: “Dalam UU Pornografi terdapat aturan tentang keterlibatan masyarakat untuk mencegah pornografi, hal itu akan melahirkan polisi-polisi swasta.” Mungkin yang dimaksud polisi swasta disini adalah organisasi Islam seperti FPI.

Namanya UU, ia dibuat untuk mengatur, biar masyarakat tidak anarkhis. Perbuatan anarkhis muncul justru karena tidak ada UU-nya. Kalau sudah ada UU, tindakan anarkhis tidak diperlukan lagi. Tetapi dalam implementasi UU Pornografi, bahkan UU apapun, keterlibatan masyarakat dibutuhkan untuk menunjang penegakan UU itu. Tanpa keterlibatan masyarakat, sulit UU akan berjalan baik. Hanya batas keterlibatan itu bukan untuk menangkap, merampas, memborgol orang, memukuli, memenjarakan, dan seterusnya. Cakupanya paling sebatas melaporkan pelaku, mengumpulkan bukti-bukti, atau menasehati pelaku agar tidak melakukan ini itu. Semua itu sebatas wewenang rakyat biasa, bukan mengambil tugas polisi.


Anti Hukum Islami

Sebelum UU Pornografi diundangkan, Fraksi PDIP dan PDS tidak ikut terlibat sidang untuk mengesahkannya. Dan banyak lagi yang menentang UU tersebut dari kekuatan-kekuatan di luar parlemen, termasuk kalangan gereja.

Kalau mau jujur, sebenarnya orang-orang itu tidak anti dengan gerakan pemberantasan pornografi. Di kalangan gereja sendiri, pornografi menjadi masalah anak muda yang memusingkan juga. Di rumah-rumah mereka sendiri, pasti anak-anaknya akan dilarang mengakses situs-situs porno yang berisi pose-pose wanita telanjang, gambar alat seksual, adegan senggama, dst. Pasti dan pasti mereka akan merasa jijik dengan semua itu. Kecuali kalau moralnya sudah sama-sama rusaknya.

Tetapi mengapa mereka seperti benci sekali dengan UU Pornografi, padahal kalau disahkan pasti akan menguntungkan keluarga mereka juga?

Alasannya sederhana, UU Pornografi dianggap identik dengan “Perda-perda Syariah”, yaitu aturan-aturan yang bernuansa Hukum Islam. Itu sebenarnya intinya. Mereka ketakutan, kalau UU Pornografi diloloskan, nanti kalangan aktivis Islam akan menuntut yang lain lagi, misalnya pendirian Bank Sentral Syariah, pendirian Mahkamah Hukum Pidana Syariah, penggantian Pancasila dengan Rukun Islam, penggantian UUD 1945 dengan Al Qur’an dan Sunnah, dan ujungnya berdirilah Negara Islam Indonesia (NII). (Sambil mereka bayangkan, atas semua itu para aktivis Islam akan tertawa lebar-lebar…ha ha ha. Seperti dalam film kartun bajak laut).

Mereka anggap UU Pornografi ini sebagai kendaraan yang ujung-ujungnya ialah mendirikan Negara Islam di Indonesia. Mereka semua ketakutan, sebab kalau berdiri Negara Islam, mereka khawatir nanti setiap orang non Muslim akan dipancungi satu per satu; setiap orang wajib shalat lima waktu, mereka akan didampingi polisi yang akan terus memantau gerak-geriknya selama 24 jam, kalau sekali mereka berbuat salah, langsung dihukum berat, seperti dipukul, dipotong tangan, digantung, atau dirajam. Pendek kata, mereka telah terserang horor sangat mengerikan, sebab kebanyakan membaca Nights Mare.

Bagi kalangan kapitalis, penegakan Syariat Islam (apalagi pendirian Negara Islam) lebih mengerikan lagi. Mereka akan berbuat apapun untuk menghalangi semua itu, sebab hal ini menyangkut masa depan eksploitasi ekonomi di Indonesia. Keberadaan Syariat Islam bisa dianggap sebagai barrier (dinding) yang sangat berbahaya. Para kapitalis juga ada di balik gerakan anti RUU Pornografi ini.

Sebenarnya itu alasannya. Maka tidak heran jika kalangan gereja mendukung penuh gerakan anti RUU Pornografi itu. Disini pula kita bisa memahami mengapa Si Mbah Dur sangat emosi dengan RUU tersebut. Padahal setahu saya, pihak-pihak di parlemen itu tidak ada satu pun yang secara bicara tentang Syariat Islam. Rata-rata bicara substansi moral, bukan soal Syariat. Bahkan, kalangan PAN sendiri seperti dikatakan Sutrisno Bachir, lebih suka dengan Islam inklusif bukan Islam pro Syariat Islam. Para pendukung Syariat Islam umumnya ada di luar parlemen, bukan di dalam. Ini yang tidak dipahami oleh orang-orang anti UU Pornografi.

Tapi ya terserah bagaimanapun keinginan mereka. Setuju silakan, tidak juga tidak mengapa. Nanti pada akhirnya, kalau tidak ada kata sepakat, ya harus voting. Mudah-mudahan dalam voting, suara anggota dewan bermoral bisa mengalahkan yang anti moral. Allahumma amin.


Dilema Gerakan Islam

Ada sebuah tulisan menarik di majalah Sabili, beberapa waktu lalu. Ia ditulis oleh Hery Nurdi, Pemred Sabili. Dalam tulisan itu Hery menyorot sebuah kasus menarik di parlemen Turki. Singkat cerita ada seorang anggota parlemen dari PKP Turki yang mengajukan proposal tentang pentingnya kaum wanita Turki diperbolehkan memakai jilbab. Anggota dewan itu wanita dan tidak berjilbab, dalam proposalnya dia tidak memakai dalil-dalil Syariat tetapi mengumpulkan data-data realitas sosial dari berbagai sumber. Meskipun titik-tolaknya moralitas, tetap saja proposal itu ditolak, sebab dituduh berbau Islam.

Kenyataan di atas sangat sering terjadi di Indonesia. Meskipun kita membawa ide-ide moral murni, tanpa embel-embel Syariat Islam, ia bisa dicurigai sebagai bagian dari upaya Islamisasi. Kalau mau jujur, Soeharto dijatuhkan tahun 1998 lalu juga karena tuduhan dia mendukung Islamisasi, dan para mayoritas aktivis Islam mendukung penjatuhan Soeharto tersebut. Dan kini, sekedar untuk meloloskan UU Pornografi saja, susahnya setengah mati.

Gerakan moral untuk kebaikan masyarakat selalu dituduh Islamisasi. Penuduhnya tidak jauh-jauh, yaitu komunitas Islam phobia yang sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai saat ini tidak kenal lelah menentang setiap yang menguntungkan Ummat Islam. Semua ini hanyalah “parade perlawanan” yang dipertahankan dari generasi ke generasi. Wajah dan bentuknya bisa beda, tetapi esensinya sama.

Saya tertarik dengan pemikiran Hery Nurdi. “Tidak memakai label Islam dituduh pro Syariat Islam, berlabel Islam dituduh Islamisasi. Jadi, mengapa tidak sekalian saja terang-terangan membela Islam? Toh, berlabel Islam atau tidak, tetap saja kita dituduh,” begitu kurang lebih logika Hery. Saya kira, ada benarnya juga pemikiran itu. Sudahlah, ke depan kita tidak usah basa-basi lagi. Langsung saja, lugas, tegas, tidak multi tafsir. Sebut saja, “Kami membela Islam! Titik!” Nah, cara demikian kayaknya lebih OK. Daripada terus paranoid, lebih baik sekalian mengaku membela Islam. Percuma “bermain cantik”, kalau akhirnya dicurigai juga. Soal nanti bagaimana hitam-putihnya di parlemen, ya itu dikembalikan ke skill politik masing-masing.

Lagi pula, secara akidah, percayakah Anda bahwa orang-orang Islam phobia itu memiliki hati yang tulus, sifat pemurah, kasih-sayang, empati tinggi, rasa keadilan, dan sebagainya? Siapa yang mengatakan hal itu? Apakah Allah dan Rasul-Nya? Sungguh wajar apa yang mereka lakukan selama ini, wong memang stelan hatinya sudah seperti itu (kecuali yang diberi hidayah oleh Allah). Sampai kapan Anda berharap mereka akan lembut hatinya, pro nilai-nilai Islami? Kalau pro, mereka tentu tidak akan bersikap phobia terhadap Islam. Phobia = anti, iya tho?

Terimakasih Pak Hery, moga idenya bisa ditangkap oleh wakil-wakil gerakan Islam di Parlemen. Walhamdulillah Rabbil ‘alamin. Wallahu a’lam bisshawaab.


Bandung, 20 Ramadhan 1429 H.
Oleh : Abu Muhammad Waskito. (sumber : Swaramuslim.com)

Soekarno Tertawa

23 September 2008

RUU PORNOGRAFI

Pro kontra tentang RUU Pornografi masih terus berlanjut. Padahal rencananya pada 23 September, DPR akan mengesahkan RUU Pornografi tersebut. Bagaimana sebenarnya isi dari RUU Pornografi tersebut? Berikut RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI itu:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

2.Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.

3.Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

4.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

5.Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6.Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2

Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.

Pasal 3

Pengaturan pornografi bertujuan:
a.mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;

b.memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;

c.memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
d.mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN

Pasal 4

(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:

e.persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

f.kekerasan seksual;

g.masturbasi atau onani;

h.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau

i.alat kelamin.

(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:

a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;

c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Pasal 5

Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

Pasal 6

Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.

Pasal 7

Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8

Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 9

Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 10

Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Pasal 11

Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.

Pasal 12

Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Pasal 13

(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.

(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.

Pasal 14

Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai:
a.seni dan budaya;
b.adat istiadat; dan
c.ritual tradisional.

Pasal 15

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PERLINDUNGAN ANAK

Pasal 16

Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.

Pasal 17

1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.


2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PENCEGAHAN

Bagian Kesatu
Peran Pemerintah

Pasal 18

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 19

Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah berwenang:
a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;

b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan

c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 20

Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah Daerah berwenang:

a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;

b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;

c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan

d.mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.

Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat

Pasal 21

Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 22

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat dilakukan dengan cara:

a.melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;

b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;

c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pornografi; dan

d.melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 24

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 25

Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:

a.barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan

b.data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.

Pasal 26

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.

(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.

(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.

Pasal 27

Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.

Pasal 28

(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.

(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.

(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.

BAB VI
PEMUSNAHAN

Pasal 29

(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.

(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a.nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b.nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c.hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d.keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 30

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 31

Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 32

Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33

Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 34

Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 35

Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 36

Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 37

Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 38

Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Pasal 39

Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 40

(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

Pasal 41

Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenakan pidana tambahan berupa:
a.pembekuan izin usaha;
b.pencabutan izin usaha;
c.perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan/atau
d.pencabutan status badan hukum.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.

Pasal 43

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 44

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

PENJELASAN:

Pasal 4

Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat dan binatang, oral seks, anal seks, lesbian, homoseksual.

Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan, pemerkosaan.

Huruf d
Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan" adalah penampakan tubuh dengan menunjukkan ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh yang tembus pandang.

Pasal 5

Yang dimaksud dengan "mengunduh" adalah mengalihkan atau mengambil fail (file) dari sistem teknologi informasi dan komunikasi.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.

Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga dimaksud.

Pasal 10

Yang dimaksud dengan "mempertontonkan diri" adalah perbuatan yang dilakukan atas inisiatif dirinya atau inisiatif orang lain dengan kemauan dan persetujuan dirinya. Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi atau onani.

Pasal 13


Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.

Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.

Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan.

Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.

Pasal 14

Yang dimaksud dengan "materi seksualitas" adalah materi yang tidak mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni.

Pasal 16

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 19


Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Pasal 20


Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

sumber : swaramuslim.com

15 September 2008

Tawuran Ramadhan


Ada suatu yang memprihatinkan setiap kali ramadhan tiba. Keprihatinan tersebut bukan karena datangnya bulan suci yang memang sudah diyakini kemuliaannya oleh kita ummat islam, tapi lebih disebabkan karena perilaku sebagian kita (muslim) dalam mengisi kemuliaan bulan suci ini. Prilaku tawuran antar remaja atau antara kampung misalnya, justru kerap terjadi dibulan ramadhan.

Seperti yang terjadi kemarin Minggu tanggal 14 September 2008 di daerah Pamulang dimana sebagian remaja tanggung (kira-kira berumur 13 s/d 15 tahun)dari dua wilayah berbeda yakni Ciputat dan Pamulang beradu lempar petasan yang berujung pada kematian 5 bocah remaja pelaku tawuran. Tawuran ini disinyalir kerap terjadi dibulan Ramadhan.

Duh Gusti...


Kaget, miris dan sedih.. Itulah kiranya reaksi yang kita rasakan saat melihat tayangan beberapa TV mengenai kondisi saudara-saudara kita ketika mereka berjuang untuk lepas dari himpitan, dorongan, injakan dan desakan untuk hanya sekedar menerima uang zakat senilai Rp.30.000,- dari seorang dermawan di Pasuruan.

Tayangan tersebut mengingatkan kita pada kondisi ril sebagian masyarakat (muslim) indonesia yang memang masih terpuruk dalam kondisi kemiskinan. Untuk sekedar mendapatkan uang sebesar itu saja kita rela mengorbankan nyawa. Hal ini bisa dimaklumi karena uang Sebesar itu bagi sebagian besar masyarakat kita memang cukup tinggi. Bisa jadi kebanyakan kita untuk memperoleh uang sebesar itu membutuhkan waktu beberapa hari kerja, itupun kalau toh pekerjaan itu ada.

Tentu saja kita tidak berhak menyalahkan kedua belah pihak baik muzakki maupun mustahiknya, karena disatu pihak sebagai muzakki mereka ingin menunaikan kewajibannya dengan cara yang mereka anggap benar, di pihak lain sebagai mustahik dalam kondisi yang memang 'serba susah' saat ini alangkah wajar sekiranya mereka ingin menerima haknya walaupun dengan cara yang membahayakan diri mereka sendiri. Yang perlu dipikirkan sekarang oleh Muzakki adalah bagaimana cara yang lebih baik dalam mendistribusikan kewajiban zakatnya, jangan sampai amal baik yang dilakukan membuahkan petaka bagi makhluk lainnya. Sedangkan bagi Mustahik tentu harus jeli melihat kondisi dan cara pembagian zakat yang tidak akan membahayakan jiwanya dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari semua kejadian.

11 September 2008

TUHAN SEMBILAN SENTI


Tadi malam aku membaca salah satu sajak karya terbaru Taufiq Ismail dengan judul 'Tuhan Sembilan Senti'. Menarik untuk dibaca karena puisi tersebut sarat dengan makna. Rokok, yang dimaksud dalam sajak tersebut selama ini dikonsumsi banyak orang baik oleh anak2, remaja, anak muda, orangtua, pelajar, guru-dosen dan hampir semua kalangan, bahkan sebagian ulama/kyai tidak asing lagi dan menganggap hal biasa bagi penkonsumsi rokok. Semua tidak peduli dengan fakta-fakta yang ada mengenai resiko merokok yang membahayakan kita manusia dilihat dari semua sisi. Dengan sajak ini semoga kita dapat tergugah dan kembali sadar betapa dahsyatnya bahaya rokok. Saya yakin semua pihak tak dapat membantah ini.

Tuhan Sembilan Senti

Karya Taufik Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.

25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.

Lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba.

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini.

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

10 Hari Pertama Puasa


Tidak seperti biasanya, 10 hari ramadhan tahun ini aku merasa lebih fit menjalankan puasanya. Mungkin karena aku tidak pernah lupa untuk melakukan sahur sehingga asupan makanan dibadanku cukup. Disamping itu tahun ini aku merasa sudah terbiasa dengan tidak tidur lagi selepas sahur dan shalat subuh, tapi aku isi dengan membaca qur'an. Awalnya memang sempat muter-muter nih kepala nahan kantuk hebat karena kebiasaan sebelumnya yang memang harus tidur, dan itupun pasti bablas samapi jam 09. Mudahan-mudah kebiasaan tidak tidur selepas sahur dan salat subuh dapat dipertahankan selamanya.